Disklemer; bukan review gigs, juga bukan review sebuah acara.


Minggu, 24 Maret 2013, saya melewatkan Sunday Market yang diadakan di Surabaya Town Square (SUTOS). Flea market konseptual terbesar di Surabaya ini mengkombinasikan 4 elemen: fashion, musik, seni dan kuliner. Ada perasaan menyesal telah melewatkan acara yang baru dua kali digelar di Surabaya ini. Alasannya adalah Polyester Embassy. Iya, sudah lama saya menantikan band asal Bandung yang beraliran Electronic Rock Experimental ini. Bahkan, salah satu judul lagu mereka di album Tragicomedy yang membuat saya menamai URL blog ini dengan Polypanic Room(s), the most my favorite song of Tragicomedy.

Saya galau, saya murung karena tidak bisa datang, kemudian saya ngetwit tentang penyesalah telah melewatkan Polyester Embassy malam itu sampai tiba-tiba masuk sebuah mention dari salah seorang teman dengan tweet kurang lebih bilang seperti ini, "nanti dilunasin The Milo 5 April." Buat saya tidak ada pelunasan. Tidak ada yang bisa menggantikan antara yang satu dengan satu yang lainnya. Dua band tersebut punya tempat masing-masing di hati saya. *yaelah, udah kayak pacar aja*.

Baiklah, lupakan penyesalan tentang PE. Jelang 2 hari sebelum hari H The Milo datang ke Surabaya, saya stalking timeline @themiloband. Dan benar saja, mereka ada jadwal main di Ide Art 2013 yang notabene acara karya mahasiswa Desain Produk Industri (DESPRO) ITS. Esoknya saya menghubungi Onne, teman akrab saya dari SMA yang kuliah di ITS dan menanyakan tentang acara tersebut. Singkat cerita saya mengajak Onne untuk menemani saya datang ke acara tersebut.

5 April 2013, siang hari keluar dari rumah dengan menumpangi angkot saya pergi ke salah satu Mall di Surabaya, tujuannya: Gramedia dan salah satu Resto Junkfood demi memenuhi undangan teman. Setelahnya, saya ke kampus untuk menyaksikan tim futsal kelas saya yang bertanding di final kompetisi futsal fakultas. Selesai futsal jam 8 saya langsung cabut ke ITS, menuju ke gedung FMIPA dimana Onne sudah menunggu saya. Jam tangan menunjukkan pukul 9 ketika saya berada di balkon atas gedung fisika, Onne —yang kebetulan seorang aslab— tengah sibuk berdiskusi dengan aslab lainnya sedang memberikan tugas pendahuluan. Saya merasa seperti alien berada di antara para aslab fisika dengan topik obrolan yang sama sekali tidak saya pahami. Sedangkan perasaan cemas karena terlambat menyaksikan The Milo terus memburu. Iya, kabarnya The Milo main jam 9 malam.

Setengah 10, kami baru beranjak keluar dari gedung. Saya, Onne, teman Onne —Ayu dan Nike— memacu motor menuju gedung DESPRO yang jarak tempuhnya sekitar 15 menit dari gedung FMIPA. Tiba di parkiran sayup terdengar main intro dari Don't Worry for being Alone —kalau pendengaran saya tidak salah. Sialnya, antara tempat parkir dan panggung acara jaraknya lumayan jauh untuk ukuran orang yang sudah terlambat datang, harus berjalan kaki sekitar 7 menit —belum dengan prosedur ticketing-nya yang paling tidak memakan waktu 3 menit. Saya sempat bertanya ke Mbak-Penjaga-Tiket, The Milo sudah memainkan berapa lagu, "ini lagu ke-4, Mbak," jawabnya. Saya masuk dengan menggandeng Onne, sementara Ayu dan Nike masih tertinggal di belakang. Syukurlah suasana di depan panggung tidak terlalu crowded, saya memilih berdiri di marka pembatas taman, 4 meter dari panggung, sementara The Milo memainkan lagu ke-4 yang saya lupa judulnya. :)))

"Buat yang datang ke sini sama pacarnya... bla... bla... bla..." Kang Ajie mencoba berinteraksi dengan shoegazer sebelum Romantic Purple dilantunkan, lagu yang memang cocok untuk orang yang sedang kasmaran kemudian datang ke gigs dengan pasangannya dan menemukan The Milo menyanyikan lagu tersebut. Ini kurang ajar, tapi... ah, sudahlah.

"Ini judulnya apa, Mel?" Onne menoleh ke saya di tengah-tengah sedang asik menyimak kaki (kan shoegaze —abaikan).
"Romantic Purple. Cocok buat yang dateng ke sini sama pacarnya." sambil terus melihat ke panggung saya menjawab.
"Kalo nggak punya pacar?" pertanyannya tersebut membuat saya menoleh.
"Kalo nggak punya pacar, ya minimal sama gebetannya lah."
"Kalo nggak punya gebetan?" makin ke sini pertanyaannya makin ngeselin.
"Ya sama temen cowok." Saya kembali melihat ke panggung.
"Eh, tapi kalo sama temen cowok pasti jadinya bakal biasa aja, ding. Hambar juga. Lagunya romantis gini." Saya menambahi. Belum setengah jam berdiri, saya merasa nyeri di punggung karena aktivitas dari siang mondar-mandir dan kebanyakan berdiri. Ampun... pegelnya luar biasa, tapi saya masih enggan beranjak.

The Milo on Stage
Dreams, lagu berikutnya. Saya menoleh ke Onne, "nah, kalo yang ini lagunya aku banget. Hahaha." Sambil sesekali mengambil gambar di panggung dari kamera HP. Selesai membawakan Dreams, beberapa penonton meneriakkan "dunia semu", yang tidak lain adalah salah satu lagu di album pertama mereka, Let Me Begin. Tapi The Milo khusus untuk malam itu tidak akan membawakan Dunia Semu karena sebuah alasan. Entah, saya kurang jelas ketika Kang Ajie menjelaskan tentang alasannya, yang jelas ada sangkut pautnya dengan Kang Suki, Bassist The Milo —kalau tidak salah dengar.

Selanjutnya malah yang terdengar intro For All the Dreams that Wings Could Fly dan saya berteriak girang. Ini lagu favorit saya dari The Milo, sering saya putar sebelum tidur. Saya maju sendirian, merangsek ke kerumunan penonton, Onne, Ayu dan Nike masih di tempat semula. Mendadak pegel di punggung lenyap, tersamarkan euphoria alunan suara penonton yang mengkuti Kang Ajie menyanyikan lagu tersebut —pun saya.

"Selanjutnya, lagu terakhir...." dan terdengar suara kecewa dari penonton, riuh rendah. Sebelum lagu pusaka dari album kedua —Photograph— berkumandang, Kang Ajie memberitahukan akan ada Lightmop barengan The Milo setelah acara itu. Saya balik ke belakang dan mengajak Onne untuk maju, 2 meter di hadapan panggung. Dan Daun dan Ranting Menuju Surga menjadi persembahan terakhir malam itu, langsung disambung dengan Stethoscope yang dibawakan secara epic diiringi oleh penonton yang ikut tenggelam bernyanyi melankolis.

Seusai The Milo turun dari panggung, saya dan teman-teman bergegas hendak pulang. Kemudian perhatian kami tertuju ke kiri panggung, pintu masuk ke gedung DESPRO. Lampu seketika padam dan terdengar hentakan musik a la Disc Jockey. Semua penonton langsung menuju ke arah tersebut, kami terlongoh-longoh dan akhirnya mengikuti. Tangan-tangan melambai ke atas dengan membawa Glow Stick dan riang berajep-ajep. Kami berempat memperhatikan dari belakang, yang selangkah-demi-selangkah akhirnya masuk ke kerumunan dan menangkapi Glow Stick yang dilempar-lemparkan. Hahaha.

Lightmop
Glow Stick
Selesai ber-ajojing-ria, perhatian tertuju ke tembok gedung yang digunakan sebagai layar proyektor. Acara ditutup dengan menampilkan hasil karya mahasiswa DESPRO ITS yang berlangsung selama kurang lebih 10 menit. What an amazing event. It was so inspiring. :)


2 Comments

  1. wah kampret, semakin tertinggal nih update gigsnya
    kpn2 nonton bareng yes :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ogut juga nggak kalah tertinggal sama yang bakal nonton Sigur Rós bulan depan kok. :P
      Harusnya moment baik kita bisa ngegigs bareng adalah Hammersonic bulan ini, bisa bertiga bareng Simpuk juga. Huhuhu.

      Delete

Amelia. Powered by Blogger.