*postingan ini sebelumnya telah saya posting di blog saya yang satunya, ameliardany.wordpress.com.

Semalam, di malam Minggu yang basah karena hujan terus mengguyur seharian penuh, saya menyempatkan menelpon seorang teman yang saat ini sedang mengambil studi S2 di kampus kenamaan Bandung. Saya menanyainya, apa yang sedang ia lakukan. Lalu ia mengeluh tentang tugas-tugasnya yang, katanya, membuat jerawat makin subur tumbuh di wajahnya. Ia juga sempat menceritakan perihal perasaan yang ia pendam cukup lama kepada teman sekelasnya. Lelaki yang sibuk menghantui hari-hari teman saya. Ia berkali-kali menceritakan perihal yang sama tentang lelaki tersebut, perasaan yang sama setiap harinya, perasaan yang, katanya, ingin membuatnya meledak. Ia sibuk menerka-nerka tentang perasaan si lelaki.

Perempuan, saya tak paham betul dengan mereka, termasuk diri saya sendiri. Menyukai seorang lawan jenis, memendamnya dalam-dalam, setiap hari selalu digumamkan tanpa pernah punya keberanian menyatakannya. Maka setiap malam sibuk merapal nama lelakinya. Terkadang dengan lancangnya membiarkan lelaki tersebut menyusup ke dalam tidurnya. Mimpi buruk, saya kira. Lalu saya terngiang-ngiang dengan sebuah lagu milik Endah N Rhesa, lagu tentang—jika kamu mencintainya, katakanlah, sebelum kamu menyesal dan kehilangan kesempatan. Sesuatu yang cukup musykil untuk dilakukan. Karena, katanya, kulit perempuan itu dibangun oleh gengsi. Karena, katanya, perempuan yang menyatakan perasaannya terlebih dahulu itu sama dengan mempertaruhkan harga diri. Karena, katanya, perempuan adalah pihak yang menunggu untuk dijemput—bukan menjemput. Lupakan emansipasi wanita! Lupakan feminisme! Kita, perempuan, memang hanya akan terus menunggu untuk dijemput.

Tapi, tidak untuk teman saya tersebut, dalam percakapan semalam ia mengutarakan maksudnya kepada saya. Minggu depan, ia akan menyatakan perasaannya kepada teman sekelasnya, lelaki yang saya sebut Beruang Kutub. Saya terdiam sejenak, membayangkan kemungkinan-kemungkinan buruk. Saya mengumpat dalam batin, lelaki sialan! Lelaki yang tega membuat teman saya kebat-kebit. Lelaki yang membuat saya setengah cape mendengarkan cerita yang sama setiap harinya dari obrolan pesan singkat dengan teman saya.

Tapi ini teman saya, teman baik yang saya kenal sedari SMA, teman yang setiap saat kami berbagi keluh kesah. Saya pun ikut merasakan kerisauan yang ia hadapi setiap harinya menjelang tidur. Berkali-kali saya selalu mengingatkannya, tentang bagaimana seharusnya kami, perempuan, untuk tidak selalu menggantungkan harapan pada lelaki, untuk tidak selalu menuruti perasaan yang kita bangun sendiri. Saya selalu takut ia akan menanggung kecewa yang sama, seperti 2 tahun lalu sebelum ia pergi ke Bandung. Berkali-kali juga, ia meyakinkan kepada saya tentang perasaan tersebut. Kemudian saya bergumam, semoga harapannya terkabul. Semoga ia tidak jatuh. Saya berbalik arah, berapi-api mendukung rencananya—bagaimana, kapan dan di mana ia akan menyatakan perasaannya kepada Beruang Kutub. Semoga ia mendapatkan seperti apa yang ia rapal dalam doanya.

Ah iya, cerita lainnya adalah teman saya meminta tolong untuk membantu mengerjakan tugasnya. Saya mengiyakan. Sekarang saya sedang stress mengerjakan tugas tersebut. Ini adalah postingan yang saya tulis sebagai pelarian. Saya baru saja mengetik 2 paragraf untuk tugasnya, dan masih banyak yang harus dilanjutkan.



(1:47 AM, 2/2, ditulis sembari memutar ulang Radiohead - True Love Waits berkali-kali dan berbalas pesan singkat dengan seseorang yang terus mendesak saya untuk menulis lagi)


3 tahun lalu, setelah memberi jeda untuk The Bends dan Ok Computer, saya akhirnya mau beranjak mendengarkan album-album Radiohead yang lain. Dimulai dari Kid A, saya memang tak menyukai album Radiohead pasca Ok Computer. Kecewa karena musik kolektif itu telah mangkat dari instrumen-instrumen menghanyutkan seperti dalam “Bullet Proof… I Wish I Was” dan “Let Down”.

Tak puas dengan Kid A, saya melewati Amnesiac dan Hail to the Thief. Malam itu, saya sedang dibikin gusar oleh seseorang dan menemukan eskapisme pada track ke-3 pada album In Rainbows. Pada menit pertama suara falsetto Thom Yorke berhasil mengantarkan saya pada lautan yang luas, saya tengah melayang-layang di dalamnya, membiarkan diri hanyut ke dalam dasar lautan dengan gerakan slow motion. Mata saya memejam. Kemudian pada verse kedua saya seperti melihat cahaya dari kejauhan. Menit 03.11 saya dihantam mamalia laut raksasa. Ia tak kunjung memamah tubuh saya lantas menghenyakkan tubuh saya asal. Saya kembali terbenam menuju dasar lautan yang sayangnya tak kunjung menemui dasarnya. Iya, tubuh saya melayang begitu saja tanpa arah.

Sialnya, saya selalu merasakan hal serupa setiap kali memutar lagu yang diciptakan tahun 1997 ini. Saya menikmati eskapismenya.


Amelia. Powered by Blogger.