Terhitung sudah 3 hari ini saya puasa memutar musik di laptop. Bukan karena laptop saya rusak. Bukan. Juga bukan karena saya terlalu sibuk dengan skripsi sampai-sampai lupa mendengarkan musik. Juga bukan. Semua didasari karena kejadian na'as nan ngehe yang menimpa saya di tahun baru.

Tepat tanggal 1 Januari 2014. Sekitar pukul sebelas siang saya berusaha mengumpulkan kesadaran setelah semalaman begadang mengerjakan revisian dan baru tidur ketika Muazin musholla sebelah menyerukan azan Subuh. Iya, betapa rajinnya saya di malam pergantian tahun baru yang biasanya dilewatkan dengan pesta kembang api atau sekedar nongkrong dengan teman-teman dekat— saya malah bergulat dengan koding yang tak kunjung terpecahkan dan berhasil membuat mata berkunang-kunang, serta nyaris muntah. Dengan setengah kesadaran, tanpa cuci muka dan pipi masih penuh iler saya menyalakan laptop masih dengan posisi tiduran. Berharap di Subuh hari yang penuh berkah ketika saya sedang terlelap tidur sebuah mukjizat menerobos kamar, jatuh tepat di laptop dan sekali saya eksekusi program, taraaaaaa! No error. No warning. Tapi saya ditampar oleh kenyataan, bahwa tak ada mukjizat siang itu dan program saya masih tak berjalan sebagaimana dikehendaki oleh dosen pembimbing seperti sebelumnya.


Alih-alih membenarkan kodingan, saya membuka folder musik dan memutar sebuah lagu. Dan dari sinilah petaka itu bermula. Entah setan apa yang menyusup ke dalam diri saya, tiba-tiba saja saya iseng mengutak-atik folder musik dan sekali klik; JEGGGEEEEEEEEEEEERR! Bak petir menyambar di siang bolong diiringi badai dan gempa serta banjir bandang, saya telah menghapus folder dengan kapasitas sekitar 50 GB, sekitar 600 folder di dalamnya dan sekitar 9000 file tersebut dengan muka polos dan penuh ketololan plus kesotoyan tingkat galaksi Triangulum. Tentunya dengan menyisakan 1 file lagu yang sedang saya putar saat itu. Saya shock tapi masih berusaha tenang karena tadinya saya tak menekan shift+del. Begitulah, dengan gontai saya ngecek Recycle Bin dan hanya mendapatkan sampah dari salah satu software yang saya uninstall beberapa hari sebelumnya. Kemana larinya file-file yang terhapus tadi?

Saya loncat turun dari kasur, menyambar ponsel dan menghubungi beberapa teman yang berkompeten menyoal data-data yang terformat dan cara recover. Dari 4 teman yang saya hubungi, pencerahan yang paling memungkinkan adalah dengan menginstall sebuah software recovery.

Malam itu juga —setelah sore harinya menyempatkan mengubek-ubek koding dan masih tak membuahkan hasil— saya menginstall sebuah software recovery yang disarankan oleh seorang teman, dengan doa dan harapan semua file-file musik saya terselamatkan. Instalasi dan proses recovernya memakan waktu sekitar 1 jam, disambi saya —tetap berkukuh memecahkan masalah koding yang lagi-lagi hasilnya nihil. Saya sedikit sumringah dan lega mengetahui bahwa software tersebut ternyata cukup bisa diandalkan untuk mengembalikan berbagai macam tipe file yang terhapus atau bahkan terformat sekaligus, baik dari harddisk, flashdisk atau CD sekalipun. Cukup. Tidak bisa dibilang SANGAT BISA DIANDALKAN. Kenapa begitu? Sebab saya terlalu berharap, terlampau mengharapkan kalau file-file saya kembali seperti semula adanya. Iya, semula adanya itu file saya kembali dalam bentuknya sama persis ketika saya —yang bego ini— menghapusnya; dikotak-kotakkan sesuai foldernya, bukan berupa satu persatu file. Apalah daya ternyata memang begitu adanya dan saya harus nerimo, paling tidak file-file saya kembali meskipun ada beberapa yang masih tersangkut di Planet Namek.

Dengan keseloan yang saya paksakan, malam itu juga setelah —tiga perempat— sukses recover saya memutuskan untuk menempatkan file-file tersebut ke dalam folder persis seperti sebelumnya. Umm... 600 folder? Saya boleh pingsan mungkin malam itu, tapi petaka lain keburu menyusul. Sembari membuat folder-folder baru untuk file-file yang sudah saya anggap seperti pacar itu, saya mencoba memutar sebuah lagu. Hurricane Drunk dari Florence and the Machine saya percayakan untuk mengembalikan mood yang berantakan seharian itu, tapi apa yang ditangkap oleh kuping saya? Sepotong refrain Like Life Easily Ended dari AFFEN, belum habis lagu, Love Hurt dari Incubus menyelinap dengan selingan Great Companion milik Landon Pigg. Saya masih berpikir positif mungkin kuping saya sedang soak malam itu. Tak putus asa, saya menjajal lagu lain, Nyala-nya Pure Saturday saya mainkan dan kuping saya mendapati mixtape gagal total antara Clarity-nya John Mayer, Gadis Gangster-nya The Upstair, Amalia-nya Evo dan Over the Pond-nya The Album Leaf yang dikemas untuk 3 menit 8 detik versi Nyala. Saya masih ngeyel dengan memutar lagu lain satu persatu dan mendapatkan hal yang sama seperti dua lagu pertama yang saya putar. Baiklah.. baiklah.. saya menyerah. Saya gondok. Saya sewot. Saya senewen. Revisian terbengkalai. File-file musik kacau. Kacau semuaaaaaa!

Maka, di hari pertama tahun 2014 kemarin, saya harus merelakan lagu-lagu hasil —diam-diam— mengcopy dari harddisk beberapa teman, harus mengikhlaskan album-album hasil download-an selama beberapa tahun. Tersisa tinggal 1 lagu; Laura-nya Bat for Lashes yang saya putar sewaktu kejadian tragis tersebut. Mengingat beberapa waktu sebelumnya, saya dan seorang teman membayangkan bagaimana jika menjelang ujian lisan tiba-tiba harddisk kita bad sector dan belum sempat memback-up data di dalamnya. Saya menyeringai, mulai memikirkan untuk membeli harddisk eksternal. Belum sempat membeli, ternyata harus kehilangan folder terpenting setelah folder skripsi. Dukaaaaaaaaaaaa!


Leave a Reply

Amelia. Powered by Blogger.