Well, saya sedang dalam pikiran kacau saat ini. Terngiang-ngiang kejadian tadi sore yang menimpa saya, yang membuat saya mengalami traumatis dengan angkot di Surabaya. Nyaris! Bagaimana tidak? Ini kali kedua saya hampir kecopetan. Setelah yang pertama memang benar-benar kecopetan, dengan modus gendam.

Sore tadi, sekitar pukul 4 sore, saya berangkat dari rumah menuju tempat pemberhentian angkot seperti biasanya. Saya hendak ke rumah teman, dalam rangka meminta bantuan untuk skripsi saya. Mulanya saya sempat tak yakin masih ada angkot yang lewat jam segitu, karena memang saya belum pernah naik angkot (untuk berangkat) sesore itu. Tapi demi skripsi, ah, sudahlah...

Angkot datang setelah menunggu 5 menit. Saya lihat tempat duduk depan (sebelah sopir) kosong, hendak melangkah membuka pintu depan, urung. Saya menginjakkan kaki ke pintu belakang, memilih duduk di pojok, bangku panjang. Hanya ada 3 penumpang beserta saya.
Di tengah jalan beberapa penumpang naik dan turun, hingga akhirnya sebelum mencapai terminal (pemberhentian akhir) penumpang terakhir hanya menyisakan saya. Sampai ada mas mas yang naik, duduk di depan saya, di bangku pendek dan sempat ngobrol sebentar dengan sopir angkot tersebut.

Beberapa meter sebelum angkot sampai di terminal, saya menggeser duduk agak maju mendekati pintu, dengan posisi duduk miring —karena saya menyandang ransel di belakang, jadi saya duduk menghadap ke depan (arah sopir) dengan posisi miring. Tiba-tiba si mas mas itu pindah duduk di sebelah saya (berarti di belakang saya, karena saya menghadap ke depan). Tidak curiga awalnya, sebelum saya melirik ke samping sekilas dan seperti melihat tangan mas mas itu seperti mengarah ke depan, memegang ransel saya. Kemudian saya terus menghadap ke samping, si mas mas terlihat tenang. Saya menghadap ke depan lagi dan merasa mas mas ini beneran megang ransel saya, saya menoleh ke belakang dan eng ing eng...


Tas saya sudah dalam kondisi terbuka resleting bagian depannya seperti gambar di atas, dan shock melihat kotak pensil saya tergeletak di samping mas mas itu, juga dengan kondisi resletingnya terbuka (seperti gambar di atas juga). Saya langsung naik pitam, melabrak mas mas itu. Sumpah, nggak bisa dibilang nglabrak juga karena omongan saya terlalu kalem.

"Anjing! Mau ngapain kamu, Mas?"
"Eh, ini tadi jatuh, Mbak."
"Jatuh gimana? Wong tas saya tadi itu nutup kok."
"Beneran, Mbak, ini tadi jatuh."
"Alah, alesan. jelas jelas tas saya ini nutup. Lagian kalo jatuh kenapa resletingnya ini (kotak pensil) kebuka, Hah? Bilang aja mau nyopet."

Panik. Saya panik banget. Bahkan gemeteran. Saya beringsut maju ke depan, menjauhi posisi duduk si calon copet tersebut. Alih-alih dituduh copet, si calon copet pura-pura telpon. Sedangkan saya berharap, dengan kegaduhan di dalam angkot tersebut si sopir akan bereaksi membela saya. Apa yang saya harapkan? Si sopir ternyata hanya diam kayak orang bisu. BANGKE!

Saya langsung memutuskan turun, membayar ke sopir. Sambil memelototi si calon copet, kemudian saya lari mencari tempat yang aman, sambil nangis. Iya, saya nangis. Langsung menelpon teman untuk segera menjemput.

Alhasil, ketika tiba di rumah teman, saya tidak konsen mengerjakan skripsi. Pikiran kacau! Entahlah, saya masih memikirkan kemungkinan-kemungkinan kejadian tadi.

Kemungkinan pertama, setelah memergoki si mas mas merogoh ransel saya. Saya langsung nonjok mukanya. Tapi kalo saya diserang balik gimana? Kalo ternyata si mas mas dan si sopir berkomplot gimana? Atau bisa-bisa saya malah diper.... Ah, anjing!

Kemungkinan kedua, setelah memergoki si mas mas merogoh ransel saya. Saya langsung membenturkan kepalanya ke kaca jendela. Kemudian kepala mas masnya berdarah-darah. Kemudian, karena si sopir adalah komplotannya, saya dituduh melakukan tindakan penganiayaan tanpa alasan. Secara, memang tidak ada saksi dalam angkot tersebut.

Kemungkinan ketiga, setelah memergoki si mas mas merogoh ransel saya. Saya akan memukulnya dan kalo si mas mas itu menyerang saya, saya akan mengeluarkan jurus-jurus yang saya pelajari ketika mengikuti ekskul karate. Ah, tapi kan saya nggak pernah ikut ekskul karate. SAYA MENYESAL! KENAPA DULU NGGAK DIBOLEHIN IKUT EKSKUL KARATE, BAPAK?

Kemungkinan keempat, setelah memergoki si mas mas merogoh ransel saya. Saya akan, ah, sudahlah. Tidak ada kemungkinan-kemungkinan tai kucing ini.

Saya bersyukur karena tidak ada yang hilang. Oh, tunggu. Saya menaruh masker bergambar Doraemon di tas depan tadi, dan maskernya hilang. Sudah 2 kali ini saya kehilangan masker karena dicolong orang. :(

Btw, mungkin si mas mas tersebut mengira kalau kontak pensil saya adalah dompet. Kotak pensil saya ini isinya adalah 2 pulpen, 1 pensil, 1 penghapus, 3 pensil warna, 1 stabillo, tissue, 3 lembar foto formal, jam tangan, dan 2 modem. Beruntung saya tidak menaruh uang dalam kotak pensil seperti biasanya. Kalaupun si mas mas mengambil kotak pensil, saya tetap tidak akan rela. Modemnya itu sangat berharga demi kelangsungan hidup skripsi saya.

Isi Kotak Pensil
Masih beruntung lagi, karena tas depan saya itu sebenarnya di dalamnya ada HP. Isi lainnya adalah 1 buku bacaan, 2 bungkus Cha Cha Milk Chocolate, kotak pensil, selembar uang 2 ribu, gantungan kunci khas indian oleh-oleh dari teman, kartu tanda mahasiswa dan masker Doraemon. Yang terakhirlah yang hilang.
Kadang saya juga bandel menaruh dompet di tas depan, berulang kali Ibu sudah mengingatkan. Tapi untuk naik angkot, saya selalu menyiapkan uang pas di kantong. Ah iya, HP satunya juga saya kantongi.

Isi Tas Bagian Depan
Nah, lebih beruntung lagi si mas mas itu nggak merogoh tas bagian belakang, yang isinya lebih berharga lagi. Laptop beserta chargernya, dompet dan buku catatan harian. Bisa mati kaku kalo isi di dalamnya yang diambil.

Sehari sebelumnya, saya sudah diingatkan oleh Bapak untuk berhati-hati. Pasalnya sekarang sedang marak penjambretan laptop di kalangan mahasiswa yang sedang pulang pergi dengan menumpang bis. Pun sebelum berangkat tadi, saya sempat akan diantar oleh adik dengan motor tapi saya memilih untuk naik angkot. Teman saya juga sudah menyarankan supaya saya naik motor saja jika ke rumahnya, saya tidak mau. Semacam firasat, mungkin. Yang jelas dengan kejadian ini, saya mungkin mandek untuk naik angkot lagi sementara waktu. Trauma. Tidak ingin kejadian untuk yang ketiga kalinya. Dengan ini, menyandang predikat sebagai penumpang angkot setia selama 3,5 tahun saya merasa gagal. Saya merasa dikhianati. *alah* Dan besok saya akan mencari tebengan untuk pergi ke kampus.

Dear, warga Surabaya, karena saya sudah kedua kalinya kecopetan dengan angkot tujuan yang sama. Saya tidak merekomendasikan untuk naik angkot lyn Q jurusan Pasar Turi-Bratang. Rawan copet! Sekian.


Tabik!



Leave a Reply

Amelia. Powered by Blogger.